Jumat, 29 Mei 2009

Video Komunitas dan Video Dokumenter

(diringkas kembali dari buku video komunitas oleh yoga atmaja)

latihanvideodipilingBeragam istilah dalam dunia pembuatan video yang muncul dalam beberapa tahun terakhir memang bisa membingungkan. Sampai-sampai, menghafalkan berbagai istilah itu jauh lebih sulit daripada membuat video itu sendiri. Para pembuat video profesional dan para intelektual menjadi sibuk merumuskan definisi-definisi. Dan, dalam keriuhan itu, ada yang menganggap bahwa video komunitas adalah bagian dari video dokumenter. Padahal, ini adalah dua jenis yang berbeda, meskipun memang --dalam banyak hal, banyak sekali persamaannya.

Perbedaan yang paling jelas dan utama adalah tujuan pembuatannya. Pada video dokumenter --sama seperti video atau film umumnya-- sangat berorientasi pada hasil video itu sendiri sebagai suatu karya. Video komunitas ustru lebih mementingkan prosesnya. Perbedaan lain, video dokumenter --dan video umumnya-- selalu mengharuskan ada naskah (script) yang ditulis berdasarkan kaidah-kaidah baku profesional. Pada video komunitas, ketentuan atau persyaratan itu tidak selalu harus ada. Warga masyarakat setempat yang membuat video komunitas lebih berpedoman pada gagasan umum yang mereka sepakati bersama-sama. Memang, kadang-kadang secara bersama sama mereka menyusun juga ‘naskah’, tetapi biasanya juga hanya dalam bentuk ‘naskah garis-besar’ (outline script) saja, atau ‘papan cerita’ (story board) sederhana saja, itupun menurut cara dan gaya mereka sendiri, sangat sering tidak mengikuti --bahkan mereka umumnya tidak pernah tahu (untuk apa?)-- kaidah-kaidah baku penulisan naskah video atau film seperti yang dikenal di kalangan para profesional.

Dalam hal biaya produksi, video komunitas tidak memerlukan biaya mahal seperti pada video dokumenter, apalagi film seni, atau film komersial. Seperti nampak pada contoh kasus di Kepulauan Kei dan di Bali, selama 15 dan 8 tahun terus-menerus, mereka tetap bertahan dan bahkan mampu membiayai sendiri produksi mereka. Tetapi, harus diakui, pengalaman di dua tempat itu memperlihatkan ada kelemahan yang juga umum ditemukan di banyak organisasi masyarakat seperti mereka, yakni kelalaian menghitung biaya-biaya penyusutan (depresiasi) dan perawatan peralatan. Apabila peralatan rusak, berhentilah mereka berproduksi. Perlu waktu panjang untuk mampu membeli lagi yang baru.

Perbedaan lain yang lebih mendasar, video dokumenter akan selesai ketika video selesai, sedangkan video komunitas justru baru mulai ketika produknya selesai dibuat. Produk tersebut dipergunakan sebagai media untuk berbagai tujuan. Oleh sebab itu, biasanya memerlukan waktu lebih lama, karena akan berhenti jika sasaran sudah dicapai. Bahkan --karena masalah dan kegiatan komunitas tidak pernah ada habisnya-- video komunitas bahkan mungkin pula ‘tak pernah selesai’.

Hal yang sering membuat bingung ialah ada video komunitas yang dibuat oleh para profesional sebagai bagian dari suatu program atau proyek menggunakan pendekatan partisipatif. Mereka kadang mengakui (claiming) telah membuat video komunitas hanya karena prosesnya pembuatannya melibatkan juga warga masyarakat setempat. Dalam hal inilah mungkin memang lebih tepat jika mereka menyatakan itu sebagai ‘video partisipatif’ (participatory video). Tetapi, sebagai ‘video komunitas’?

Nah, daripada bergaduh terus tentang istilah, nampaknya lebih baik memang melakukannya saja langsung. Dalam praktik, warga masyarakat terkadang dan sering malah menemukan istilahnya sendiri. Apapun, istilah itu sesungguhnya yang paling tepat untuk menamakan apa yang mereka kerjakan. Bukankah ‘kekuasaan untuk penamaan dan pemaknaan’ adalah justru salah satu isu paling mendasar dari upaya penciptaan suatu sistem komunikasi atau media alternatif yang, antara lain, melahirkan gagasan dan praktik video komunitas?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar